KESANTUNAN PADA PRO-KONTRA PEMAKNAAN TUTURAN “SEMUA ORANG ADALAH LONTE” DI MEDIA SOSIAL TWITTER: SEBUAH TINJAUAN SEMANTIK DAN PRAGMATIK SIBER
DOI:
https://doi.org/10.51817/kimli.v2023i2023.116Keywords:
pertentangan makna, lonte, Twitter, Semantik, Pragmatik SiberAbstract
Bahasa sebagai media komunikasi yang dinamis dapat mengundang perdebatan dalam memaknai kata,
tidak terkecuali media sosial Twitter yang menghadapi pro-kontra dalam memaknai tuturan “Semua orang
adalah lonte, cuma yang dijual beda”. Penelitian ini bertujuan mengkaji fenomena perdebatan pemaknaan
tuturan tersebut berdasarkan sudut padang linguistik atau bahasa itu sendiri dengan menganalisis
bagaimanakah pro-kontra yang dimunculkan apabila ditinjau melalui tataran semantik, pragmatik siber,
dan maksim kesantunan. Berjenis kualitatif deskriptif digunakan metode analisis agih dan teknik
pengumpulan data simak-catat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara semantik tuturan yang
menyamaratakan semua orang dengan lonte tidak dapat dibenarkan. Berlandaskan jenis-jenis makna dalam
kajian semantik, baik makna secara asli (denotatif, leksikal, dan referen) maupun makna tidak langsung
(konotatif dan asosiatif), kata “lonte” berkaitan dengan hal-hal negatif, seperti pelacur, buruk laku,
tunasusila, dsb. Adapun berdasarkan relasi makna dalam semantik, kata lonte bersinonim, berhiponim
(subordinat), berhipernim (superordinat), berrelasi asosiatif, afektif, maupun etimologis dengan nilai dan
rasa negatif serta tidak nyaman dalam makna katanya. Adapun dalam pragmatik siber, meski terdapat
konteks “sama-sama menjual badan” tetapi terdapat konteks-konteks lain yang perlu dipertimbangkan,
konteks psikologis, pemahaman bersama, sosial, dan budaya. Pada aspek-aspek pragmatik yang lain kata
“lonte” juga memberi pengaruh serta memiliki penanda dan makna tersirat konvensional yang nilainya
kurang baik. Polemik yang terjadi juga terbukti melanggar maksim kesantunan Lakoff, Brown dan
Levinson, Leech, serta Asim Gunarwan. Selain itu, Indonesia adalah negara yang secara kemasyarakatan,
kebahasaan, maupun kenegaraan atau hukum, tidak menerima lonte sebagai sebuah profesi. Satuan lingual
lonte juga dianggap sebagai yang paling kasar di antara satuan lingual lain yang merujuk pada wanita
tunasusila. Terdapat alternatif lain untuk menganalogikan profesi menjual dengan lebih santun dan relevan,
misalnya pedagang, penjual, ataupun saudagar
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
Copyright (c) 2023 Salamah Salamah, Eti Setiawati, Lilik Wahyuni
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NoDerivatives 4.0 International License.